Kamis, 26 Desember 2013

etnomathematics (matematika dalam lokalitas budaya)


(sebuah ide penelitian matematika dalam perspektif budaya)

Masalah Pembelajaran Matematika



Proses pembelajaran matematika yang dilakukan saat ini cenderung terlalu kering, teoritis, kurang kontekstual, dan bersifat semu. Pembelajaranpun kurang bervariasi, sehingga mempengaruhi minat siswa untuk mempelajari matematika lebih lanjut pengajaran matematika di sekolah terlalu bersifat formal sehingga matematika yang ditemukan anak dalam kehidupan sehari-hari sangat berbeda dengan apa yang mereka temukan disekolah. Oleh sebab itu pembelajaran matematika sangat perlu memberikan muatan/menjembatani antara matematika dalam dunia sehari-hari yang berbasis pada budaya lokal dengan matematika sekolah.

Di sekolah yang dominan suku atau etnis tertentu seringkali mengajarkan matematika tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia demikian juga pada beberapa daerah dimana dalam bahasa pengantar juga menggunakan bahasa setempat. Oleh sebab itu guru harus mengajarkan matematika dengan menggunakan bahasa pengantar dari bahasa daerah setempat. Bahasa daerah setempat mempunyai istilah sendiri, misalnya untuk kata ” berhitung, ditambah, dikurang, dikali dan dibagi ”. Kata–kata semacam itu mempunyai makna begitu banyak bagi anak dan guru untuk mengajarkan matematika formal dalam komputasi. Pertimbangan lain bahwa matematika yang diperoleh di sekolah tidak cocok dengan cara hidup masyarakat setempat, sehingga matematika sulit dipahami oleh siswa karena ada dua skema yang diperoleh yaitu skema yang diperoleh di lingkungan dan skema yang diperoleh di sekolah. Dua hal tersebut diduga sebagai penyebab sulitnya siswa mempelajari matematika.


Rumusan Pertanyaan;



Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian adalah; 

1.  Bagaimana bentuk etnomatematika yang ada pada masyarakat ?
. - Bagaimana Pengaruh etnomatematika terhadap pembelajaran matematika?




Solusi Pertanyaan Penelitian ;



sebuah pendekatan yang dapat digunakan untuk menjelaskan realitas hubungan antara budaya lingkungan dan matematika saat mengajar adalah etnomatematika. Jika kita tengok negara-negara lain, keberhasilan  negara Jepang dan Tionghoa dalam pembelajaran matematika karena mereka menggunakan Etnomatematika dalam pembelajaran matematikanya.(Uloko dan Imoko, 2007).

 Etnomatematika adalah matematika yang diterapkan oleh kelompok budaya tertentu, kelompok buruh/petani, anak-anak dari masyarakat kelas tertentu, kelas-kelas profesional, dan lain sebagainya (Gerdes, 1994). Dari definisi seperti ini, maka etnomatematika memiliki pengertian yang lebih luas dari hanya sekedar etno (etnis) atau suku. Jika ditinjau dari sudut pandang riset maka etnomatematika didefinisikan sebagai antropologi budaya (cultural anropology of mathematics) dari matematika dan pendidikan matematika. Mengapa etnomatematika menjadi disiplin ilmu dan menjadi perhatian luas akhir-akhir ini. Salah satu alasan yang bisa dikemukakan adalah karena pengajaran matematika di sekolah memang terlalu bersifat formal. Hiebert & Capenter (1992) mengingatkan kepada semua pihak bahwa pengajaran matematika di sekolah dan matematika yang ditemukan anak dalam kehidupan sehari-hari sangat berbeda. Oleh sebab  itu pembelajaran matematika sangat perlu memberikan muatan/menjembatani antara matematika dalam dunia sehari-hari yang berbasis pada budaya lokal dengan matematika sekolah.

Gagasan etnomatematika akan dapat memperkaya pengetauan matematika yang telah ada. Oleh sebab itu, jika perkembangan etnomatematika telah banyak dikaji maka bukan tidak mungkin matematika diajarkan secara bersahaja dengan mengambil budaya setempat. Menurut Bishop (1994b), matematika merupakan suatu bentuk budaya. Matematika sebagai bentuk budaya, sesungguhnya telah terintegrasi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat dimanapun berada. Pada hakekatnya matematika merupakan teknologi simbolis yang tumbuh pada keterampilan atau aktivitas lingkungan yang bersifat budaya. Dengan demikian matematika seseorang dipengaruhi oleh latar budayanya, karena yang mereka lakukan berdasarkan apa yang mereka lihat dan rasakan. Budaya akan mempengaruhi perilaku individu dan mempunyai peran yang besar pada perkembangan pemahaman individual, termasuk pembelajaran matematika (Bishop, 1991). Pendidikan matematika sesungguhnya telah menyatu dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Kenyataan tersebut bertentangan dengan aliran "konvensional" yang memandang matematika sebagai ilmu pengetahuan yang "bebas budaya" dan bebas nilai. Para pakar etnomatematika berpendapat bahwa pada dasarnya perkembangan matematika sampai

kapanpun tidak terlepas dari budaya dan nilai yang telah ada pada masyarakat.

Dalam kegiatan pembelajaran matematika di sekolah tujuan guru adalah pembentukan skema baru. Pembentukan skema baru ini sebaiknya dari skema yang telah ada pada diri siswa. Oleh sebab itu tepat sekali jika dalam mengajarkan matematika formal (matematika sekolah), guru sebaiknya memulai dengan matematika yang tidak formal yang diterapkan oleh anak di masyarakat. Jika pada diri anak terbentuk skema dengan baik tentang matematika yang dipakai dalam dunia sehari-hari, maka untuk menambah pengetahuan yang telah ada tersebut guru memperkuat skema yang telah ada atau membentuk skema baru berdasarkan skema yang telah ada. Sebagai contoh ketika  guru akan menjelaskan dalam pembelajaran tentang pencerminan dan simetri, guru bisa membawa atau memperlihatkan contoh–contoh artifak, lukisan tato, dan  lukisan lain yang bermotif budaya lokal yang mempunyai nilai pencerminan. Setelah siswa dikenalkan denganbentuk–bentuk tadi, barulah kemudian mengenalkan konsep pencerminan dan simetri yang formal.

            Berikut beberapa hasil penelitian ethnomathematics dari berbagai daerah dan negara yang menunjukkan bentuk-bentuk etnomatematika dalam budaya masyarakat; dari indonesia Edy Tandiling (2013) yang melakukan penelitan terhadap suku dayak Kanayat’n mendapatkan gambaran rinci kegiatan dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat Dayak Kanayatn yang bernuansa matematika. Kegiatan tersebut dapat dikelompokkan dalam membilang, mengukur, menentukan lokasi, merancang bangun, bermain dan menjelaskan.

a. Membilang

Membilang berkaitan dengan pertanyaan “ berapa banyak ". Beberapa jenis alat yang sering digunakan oleh Suku Dayak Kanayatn untuk membilang adalah: jari tangan, tangan, batu, tongkat, dan tali (rotan dan akar). Misalnya ibu jari menunjukkan 1, telunjuk menunjukkan 2, jari tengan menunjukkan 3 dan seterusnya. Penggunaan bagian tubuh dalam menghitung adalah suatu budaya dan pemecahan masalah dalam beban ingatan manusia. Selain itu ada kata-kata bilangan yang sering diucapkan oleh masyarakat Dayak Kanayatn pada saat melakukan kegiatan. Urutan kata membilang seperti : asa,rua, talu, ampat, lima, anam, tujuh, dalapan, sambilan, dan sapuluh.Ucapan ini dapat dimaknai dengan menuliskan lambang bilangan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,dan 11. Dalam hal ini urutan menunjukkan suatu nilai tempat tentang keberadaan dari bilangan itu sendiri. Urutan menunjukkan nilai tertentu.

b. Mengukur

Mengukur umumnya berkaitan dengan pertanyaan "berapa (panjang, lebar, tinggi, lama, dan banyak)". Pada masyarakat Dayak Kanayat’n alat ukur yang digunakan sangat bervariasi baik jenis maupun penggunaannya. Alat ukur yang sering digunakan antara lain: untuk ukuran banyaknya menggunakan istilah: saikat/satu ikat salongkop/satu batang, dan salonggo/satu tumpukan dari saikat. Ada. juga istilah Tapak, untuk menyatakan banyaknya potongan yang dihasilkan biasanya untuk daging dan kayu bakar. Dalarn pratiknya misalnya dua (2) ikat tambah 3 (tiga) ikat sama dengan 5 ikat; 3 longkop tambah 6 longkop sama dengan 9 longkop, dan seterusnya. Demikian juga dalam pengurangan. Adapun ukuran lainnya yang mengandung unsur matematika dalam tradisi etnis Dayak

seperti ukuran panjang, ukuran volume atau isi

c. Menentukan Lokasi

Dalam kebiasaan masyarakat Dayak Kanayat’n banyak konsep dasar geometri yang diawali dengan menentukan lokasi. Penentuan lokasi digunakan untuk menggunakan rute perjalanan, menentukan arah tujuan atau jalan untuk pulang dengan tepat dan cepat atau menghubungkan obyek yang satu dengan obyek lainnya. Kebanyakan masyarakat Dayak Kanayat’n mencari penghidupan di hutan-hutan, baik itu berburuh, bertani, mencari sayur dan sebagainya. Masyarakat Dayak Kanayatn telah mengembangkan cara untuk memberi kode atau simbol bagi tempat lingkungannya. Seperti suku bangsa Aborigin yang memiliki cara tersendiri dalam menentukan arah perjalanan, masyarakat Dayak Kanayatn pun demikian. Mereka tidak memiliki konsep tersesat. Mereka selalu menyatakan kami dapat kembali ke rumah sejauh manapun perjalanan masuk ke dalam suatu hutan. Penentuan lokasi navigasi, perluasannya mempunyai peranan yang penting dalam pengembangan gagasan matematika. Demikian juga untuk menentukan batas-batas wilayah, ladang, sawah, kebun, atau daerah yang dianggap keramat. Daerah keramat ini dianggap suci dan tabu.

d. Membuat Rancang Bangun

Sumber gagasan lain dalam matematika yang bersifat universal dan penting adalah kegiatan membuat rancang bangun yang telah diterapkan oleh semua jenis suku dan budaya. Jika kegiatan menentukan letak berhubungan dengan posisi dan orientasi seseorang di dalam lingkungan alam maka kegiatan merancang bangun berhubungan dengan semua benda-benda pabrik dan perkakas    yang dihasiIkan. budaya untuk rumah tempat tinggal, perdagangan, perhiasan, peperangan permainan, dan tujuan keagamaan. Konsep matematika terutama membilang pada kegiatan merancang bangun dapat dilihat pada perencanaan dan pelaksanaannya. Pada perencanaan mereka membuat sketsa di atas tanah atau batu, kemudian mereka menghitung berapa banyak bahan yang diperlukan, misalnya berapa tiang, atap, pintu, dinding dan sebagainya.

e. Permainan

Beberapa jenis permainan yang terdapat di masyarakat Dayak Kanayat’n yang didalamnya mengandung unsur-unsur matematika seperti permainan Tapakng, Permainan ini dilakukan pada saat ada pesta dan kadang dipertandingkan. Bentuknya berupa persegi panjang yang memuat 6 persegi panjang kecil. Aturan permainan tiap pemain harus melewati masingmasing kotak, akan tetapi dalam berpindah dari satu kotak ke kotak lainnya dijaga oleh pihak lawan. Apabila lawan yang sedang main disentuh oleh kelompok yang sedang menjaga maka dianggap kalah. Jumlah pemain tiap kesebelasan bisa 3, bisa 5 orang, dan bisa 7 orang tiap kontingen atau kesebelasan dan semuanya laki-laki. Permainan tradisional lainna adalah bermain tapangnt dan bermain cabang galah mengandung konsep matematika khususnya pada bidang geometri seperti konsep garis lurus, konsep bangun datar (bujur sangkar dan empat persegi panjang), konsep titik, konsep sudut, konsep pojok, konsep simetri, konsep rotasi dan sebagainya.

            Senada dengan hal diatas, Agung Hartoyo (2012) juga telah melakuka penelitan etnomatematika pada budaya masyarakat dayak namun pada tempat yang berbeda, tepatnya suku dayak yang berdomisili di Perbatasan indonesia-malaysia kabupaten sanggau kalbar, Hasil dari penelitiannya mengungkapkanbahwa dalam menjalani kehidupan sehari-hari maupun dalam pelaksanaan adat istiadat dan upacara, masyarakat subsuku Dayak yang tinggal di wilayah perbatasan Indonesia - Malaysia memiliki tata cara sendiri, yang unik dan khas lokal mereka Perlengkapanperlengkapan yang diperlukan dalam pelaksanaan

upacara adat dan ritual meliputi berbagai jenis, dan masing-masing ditetapkan dalam jumlah tertentu. Itu menunjukkan bahwa di dalam aktivitas adat secara tidak sadar mereka menerapkan pengetahuan matematika ala masyarakat setempat

dengan memberikan batasan sesuai kesepakatan mereka. Bagi masyarakat Dayak, ritus merupakan ekspresi, atau ungkapan sikap “hamba” kepada Yang Transenden dan ritual-menujukkan formalisasi perilaku manusia ketika berhadapan dengan objek yang suci. Etnomatematika dalam tingkatan sederhana banyak digunakan oleh masyarakat Dayak dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Konsep yang sering digunakan adalah konsep berhitung, membilang, mengukur, menimbang, menentukan lokasi, merancang, membuat bangun-bangun simetri. Aktivitas masyarakat yang bermuatan etnomatematika ini dapat dikembangkan sebagai sumber belajar matematika sekolah yang kontekstual-realistik. Aktivitas sebagian masyarakat subsuku Dayak dalam memproduksi anyaman, khususnya anyaman topi-petani yang disulam berbagai motif, memuat sejumlah konsep advance elementary geometry. Etnomatematika yang digunakan masyarakat ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan pembelajaran mate-matika. Konsep-konsep dimaksud meliputi konsep geometri dimensi-3 dan dimensi-2. Konsep geometri berdimensi-3 yang terkandung dalam anyaman topi adalah kerucut, adapun konsep-konsep berdimensi-2 meliputi: (a) Garis lurus yang terkandung dalam Anyam dua; (b) Garis lengkung yang terkandung dalam motif Lekuk sawak; (c) Kurva tertutup yang terkandung dalam motif Tambat manuk, Kiarak nyulur, Siku

remaung, dan Pangkak; (d) Segitiga sama kaki yang terkandung dalam motif Angkong; (e) Persegi yang terkandung dalam motif bunga tekembai; (f) Belahketupat yang terkandung dalam motif Ati lang; (g) Layang-layang yang terkandung dalam motif Berangan Lang; (h) Simetri; (i) Segi 8 beraturan yang terkandung dalam motif Siluk langit dan Bulan; (j) Lingkaran yang terkandung dalam motif Sulau.

            Masih di indonesia, Inda Rachmawati (2012) juga telah melakukan penelitan etnomatematika di sidoarjo,  mendapatkan hasil bahwa ada banyak  bentuk etnomatematika berupa berbagai hasil aktivitas matematika yang dimiliki atau berkembang di masyarakat Sidoarjo,meliputi konsep-konsep matematika dapat dikelompokkan pada peninggalan budaya (1) candi dan prasasti, (2) gerabah dan peralatan tradisional,(3) satuan lokal, (4) motif kain batik dan bordir,(5) permainan tradisional.

1.        Candi dan Prasasti

Konsep matematika sebagai hasil aktivitas merancang bangunan, mengukur, membuat pola, serta berhitung dapat diungkap daripeninggalan budaya candi dan prasasti,diantaranya:

a.Konsep matematika dalam pembangunan.Walaupun masyarakat Sidoarjo jamandahulu belum mengenal materi dasarkonstruksi bangunan seperti halnya yangsekarang diajarkan pada pendidikanformal (seperti konsep siku-siku, simetris,persegipanjang, maupun yang konsepgeometri lain), tetapi mereka dapatmembangun bangunan yang megah dantahan lama jika dibandingkan dengan bangunan jaman sekarang. Mereka hanya melakukannya secara mengalir,menggunakan perkiraan dan satuan lokal(karena satuan SI belum dikenal pada saatitu), dan menerapkannya pada tata cara,tata letak, dan tata bangunan sesuaidengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual yang mereka yakini.

b.Konsep matematika sebagai produk. Masyarakat Sidoarjo telah mengimplemenasikan salah satu ilmu matematika yaitu Geometri dalam pembangunan bagian-bagian bangunan candi, diantaranya model bangun datar,meliputi persegi, persegipanjang,trapesium, segitiga, segitiga samakaki,segitiga samasisi, segilima, serta belah ketupat, model bangun ruang, meliputi kubus dan balok, model sifat matematis,meliputi sifat simetris, dan konseptranslasi (pergeseran), serta pola dilatasi persegi pada bagian dalam atap candi yang membentuk deret aritmatika.

2.         Gerabah dan Peralatan Tradisional

Konsep matematika sebagai hasil aktivitas merancang alat serta membuat pola yangterdapat pada gerabah dan peralatan tradisional merupakan contoh bentuk etnomatematika masyarakat Sidoarjo,diantaranya bentuk dasar irik, kalo, serta ebor yang berbentuk setengah bola dengan tepianberpola lingkaran, layah (cobek) berbentuk lingkaran, entong berbentuk elips, capilberbetuk kerucut, ilir dan kelasa berbentuk persegipanjang, serta benda peninggalan budaya lainnya yang memiliki bentuk-bentuk geometri.

3.         Satuan Lokal

Konsep matematika sebagai hasil aktivitas mengelompokkan, menghitung, serta menakar untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari sekaligus mempermudah masyarakat dalam melakukana ktivitas hariannya, tercermin dalam 3 penggolongan satuan lokal yang dipraktikkan di Sidoarjo, diantaranya: (a) Satuan lokal bahan makanan, meliputi satuan sajumput dan sacakup untuk satuanc abai, unting untuk satuan ikat kangkung,sawi, maupun kacang panjang, dompol/ ombyok untuk satuan tunggal petai, tundun serta cengkeh untuk satuan tunggal pisang, serta sejinah untuk satuan setiap 10 biji jagung, ataupun kue dan makanan-makanan tertentu.(b) Satuan lokal bibit ikan, yaitu Rean. Rean merupakan satuan lokal bibit ikan bandeng, lele, udang dan ikan budidayalainnya di daerah pesisir Sedati danBuduran, Sidoarjo. 1 Rean sama dengan 500 bibit ikan.(c) Satuan lokal sawah, yaitu bata. 1 batasama dengan 14 m2.

 .4.    Motif Kain Batik dan Bordir

Konsep matematika sebagai hasil aktivitas memola yang dapat diungkap dari motif batik dan bordir Sidoarjo diantaranya konsep lingkaran, garis lurus dan garis lengkung, simetris, refleksi, dilatasi, translasi, sertarotasi. Dengan menerapkan konsep matematis pada teknik pengulangan, batik-batik tradisional maupun motif kain bordir itu bisa dikembangkan dan dimodifikasi

5.             Permainan Tradisional.

Konsep matematika sebagai hasil aktivitas bermain berkaitan dengan aktivitas mengelompokkan, menghitung ataumembilang, dan lainnya dapat diungkap dariMasing-masing permainan tersebut memiliki konsep matematika sebagai berikut:a. Hompimpa dan suit: konsep peluang b. Jangklet (engklek): model persegi danpersegi panjang, c. Jantengan (bola bekel): konsep translasi,membilang, penjumlahan sertapengurangan pada bilangan bulat 1 sampai 5. d. Lompat tali: konsep garis lurus dan garislengkung.e. Bermain pasir: konsep bangun ruang.f. Pasaran: konsep aritmatika sosial,meliputi nilai mata uang serta operasi bilangan bulat. g. Sengidanan (petak umpet): konsep menghitung bilangan dari 1 s.d. 10.h. Dakon: konsep penjumlahan,pengurangan, perkalian dan pembagianpada bilangan bulat.


Di luar negeri penelitian etnomatematikapun banyak dilakukan, Mohammed Waziri Yusuf, Ibrahim Saidudi, dan Aisha Halliru (2010) telah melakukan penelitian pada budaya orang-orang Hausa (budaya yang dominan di nigeria utara) dan mendapatkan hasil bahwa sebelum kedatangan pendidikan Barat, orang Hausa di Nigeria Utara telah menggunakan matematika dalam kehidupan mereka sehari-hari seperti pada saat malukan pememilahan,pemesanan, pengukuran waktu dan berat untuk kegiatan harian . etnomatematika yang paling menonjol dalam budaya ini adalah permainan tradisional yang dimainkan oleh anak-anak atau orang dewasa dengan. Permainan yang melibatkan perhitungan aljabar, geometri ,dan deret aritmetika dalam budaya Hausa .Selanjutnya penelitiam tersebut memperbaiki keliruan bahawa tidak ada matematika di Hausa Nigeria utara sebelum kedatangan pendidikan Barat dan mengubah paradigma bahwa matematika hanya dimulai dan berakhir di dalam kelas , sehingga mengabaikan unsur-unsur budaya yang kaya dari penggunaan matematika. Penelitian tersebut memberikan bukti bahwa matematika sebagai bahasa universal tidak diperkenalkan ke dalam budaya Hausa sebagai hasil pendidikan Barat karena permainan matematika dalam budaya Hausa ada sebelum munculnya pendidikan Barat . Sesepuh dalam masyarakat Hausa memberikan permainan budaya ke yang lebih muda dengan harapan membentuk pemikiran intelektual mereka. Hal ini bahkan mungkin mendorong orang-orang muda yang takut matematika untuk memiliki minat lebih pada pelajaran tersebut.

Di Papua New Guinea, Rex Matang (2002) dalam penelitiannya yang berjudul “The Role of Ethnomathematics in Mathematics Education in Papua New Guinea: Implications for mathematics curriculum” mengungkapkan bahwa kesulitan belajar matematika yang dialami oleh banyak siswa disekolah di Papua New Guinea (PNG) saat ini karena kurikulum matematika yang lebih berorientasi barat terutama model Australia. Berdasarkan kajian literatur penelitian tentang etnomatematika, penelitian tersebut mengusulkan integrasi antara etnomatematika dan kurikulum matematika formal sebagai salah satu cara untuk mengatasi kesulitan pembelajaran, penelitian ini menggambarkan bahwa belajar matematika lebih efektif dan bermakna jika pengajaran dimulai dengan situasi belajar yang akrab, yaitu mengajar dari apa yang diketahui ke tidak diketahui, mengakrabkan siswa dengan praktek matematika yang ditemukan dalam lingkungan sosial budaya siswa sendiri.

Berdasarkan pembahasan diatas, jelaslah bahwa etnomatematika memliki pengaruh dalam pembelajaran matematika sekolah formal, etnomatematika memberikan makna kontekstual yang diperlukan untuk banyak konsep matematika yang abstrak. Bentuk aktivitas masyarakat yang bernuansa matematika yang bersifat operasi hitung yang dipraktikkan dan berkembang dalam masyarakat seperti caracara menjumlah, mengurang, membilang, mengukur, menentukan lokasi, merancang bangun, , jenis-jenis permainan yang dipraktikkan anak-anak, bahasa yang diucapkan, simbol-simbol tertulis, gambar dan benda-benda fisik merupakan gagasan matematika mempunyai nilai matematika yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran pada beberapa materi pelajaran matematika khususnya SD.

 Dalam rangka mengakomodasi peran etnomatematika dalam pembelajaran, guru matematika perlu menempatkan diri mereka sebagai fasilitator dan menempatkan siswa sebagai mitra sehingga peserta aktif dalam berbagi informasi bukan penerima pasif dari penyajian informasi.



Daftar Pustaka



Bishop,J.A.(1994b). Cultural Conplicts in the Mathematics Education of Indigenous people. Clyton, Viktoria: Monash University.

Bishop,J.A.(1991).The Simbolic Technology Calet Mathematics its Role in Education.Bullatin De La Societe Mathematique, De Belgique, T,XLIII

Gerdes,P.(1994). Reflection on Ethnomatematics. For the Learning of Mathematiccs, 14(2), 19-21.

Hartoyo, Agung. (2012) : Eksplorasi Etnomatematika Pada Budaya Masyarakat Dayak Perbatasan Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggau Kalbar, Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 13 No. 1.

Hiebert,J.&Carpenter, T.P.(1992). Learning with understading. Dalam D.G. Grouws(Ed),Handbook of research on mathematics reaching and  learning.New York:Macmillan.

Matang R.A. (2002) : The Role of Ethnomathematics in Mathematics Education in Papua New Guinea: Implications for mathematics curriculum, Journal of Educational Studies Vol 24 (1).

Mohammad W.Y. and et al (2010) : Ethnomathematics (A Mathematical Game in Hausa Culture), Vol 3, No 1, pp36-42.

Rachmawati, Indah. (2012) Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo, MATHEdunesa, Vol 1 Nomer 1.

Tandililing, Edy. (2013) : Pengembangan Pembelajaran Matematika Sekolah Dengan Pendekatan Etnomatematika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Matematika Di Sekolah, Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema ”Penguatan Peran Matematika dan Pendidikan Matematika untuk Indonesia yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, P-25.
Uloko ES, Imoko BI (2007). Pengaruh ethnomathematics mengajar pendekatan dan jenis kelamin terhadap prestasi siswa dalam Lokus. J. Natl. Assoc. Sci. Humanit. Educ. Res. 5 (1): 31-36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat buat orang lain.

Sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat buat orang lain.